Wednesday, May 10, 2017

Mendayung Pelajaran Hidup di Kampung Nelayan Jakarta Utara (Live in PPAN DKI Jakarta 2017)



Bersyukur, sebuah kata yang sejatinya menjadi “jangkar” di tengah tingginya arus gelombang lautan hidup manusia. Pasang surut yang terjadi dalam kehidupan manusia menjadikannya sebagai makhluk tuhan yang selalu meminta lebih dengan apa yang telah dimilikinya saat ini. Makhluk egois yang selalu melihat ke langit tanpa memperhatikan apa yang ada di bumi. Begitulah, manusia saat ini.
Ada benarnya ungkapan bahwa “rumput tetangga lebih hijau daripada rumput rumah sendiri”. Mungkin itu sudah menjadi fitrah nya manusia. Keinginan manusia yang terus melihat segala sesuatu keatas menjadikannya sebagai sosok pribadi individualis bahkan harus tersandung dahulu untuk bisa melihat kebawah.  


Live in PPAN ini sungguh telah menamparku dengan keras!


Sebagai pemuda yang haus akan pengalaman, Pertukaran Pemuda Antarnegara (PPAN) merupakan salah satu kesempatan emas yang sangat berharga untuk dijadikan sebagai tempat memperbaiki sekaligus meningkatkan kapasitas diri. Berproses, ya dengan berproses kita akan bisa lebih menghargai atas apa yang telah kita lakukan. Setelah proses seleksi yang cukup panjang, akhirnya saya diberi kesempatan menjadi salah satu finalis PPAN DKI Jakarta 2017. Jakarta memang selalu beda! Di saat provinsi lain sudah menentukan delegasi utamanya, proses seleksi DKI Jakarta masih berlangsung. Salah satu tahap yang paling menantang menurut saya adalah live in (hidup bersama) selama 5 hari dengan masyarakat prasejahtera di Cilincing Jakarta Utara.


Kepekaan terhadap permasalahan yang terjadi menjadi fokus utama live in untuk mendorong anak-anak muda menjadi “catalyst” sekaligus “problem solver” bagi lingkungan sekitarnya. Bagi saya, live in ini merupakan hal yang baru dan tak pernah terlupakan. Bagaimana tidak, saya diharuskan tinggal dengan sebuah keluarga yang tidak saya kenal sebelumnya selama 5 hari. Berbagai macam ketakutan dan kekhawatiran pun menghantui pikiran saya. Bagaimana saya makan nanti? Apa keluarga angkat saya nanti memperdulikan saya? Apa saya sanggup hidup di tempat yang belum pernah saya kunjungi?


Bertempat di Kalibaru, Cilincing Jakarta Utara kegiatan live in dilaksanakan. Sebagai gambaran, sebagian masyarakat di sana bekerja sebagai nelayan dan pengupas kerang. Rabu, 3 Mei 2017 menjadi awal saya dipertemukan dengan keluarga angkat saya. Keluarga Bapak Umar dan Ibu Tasmi merupakan keluarga angkat saya selama kegiatan live in berlangsung. Pada saat itu juga saya dijemput oleh bu Tasmi untuk diantar ke rumahnya.


Dan inilah rumah beliau.




Saya terkejut. Ternyata masih ada rumah seperti ini di Jakarta. Tempat tinggal yang terlihat di bawah kata “layak” untuk ditempati dimana kamar mandi hanya ditutupi oleh selembar terpal bekas dengan tidak ada WC di dalamnya.


Pak umar merupakan seorang nelayan yang memiliki penghasilan tidak tetap setiap harinya. Dimana uang Rp150.000 yang didapat dari hasil nelayan menurut saya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ditambah biaya sekolah anak terakhirnya juga kelima orang cucunya yang terkadang tinggal bersama. Sedangkan ibu Tasmi hanyalah seorang ibu rumah tangga yang saat ini juga menderita diabetes. Mengetahui keadaan keluarga angkatku, saya khawatir kedatangan saya hanya menjadi beban bagi keluarga Pak Umar dan Bu Tasmi.

Tapi semua kekhawatiranku hilang sirna!


Pancaran ketulusan dan keiklasan keluarga ini sudah terpancar di hari pertama saya menjadi bagian dari keluarga mereka. Tak perduli ada uang atau tidak, mereka memperlakukan saya seperti anak kandungnya sendiri. Sarapan disediakan, begitupun dengan makan siang dan malam. Saya yakin sekali, pada saat itu keluarga Pak Umar juga sedang berjuang untuk memenuhi biaya sekolah anak terakhirnya, Oim, yang baru saja melewati ujian nasional tingkat SMP.

*keluarga besar Pak Umar


Dari percakapan ibu dan bapak selama saya tinggal, beliau ini sangat menaruh harapan kepada anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga karena pendidikan merupakan barang mahal bagi mereka juga beberapa masyarakat di sekitar sana. Oleh karena itu, bapak sangat berjuang keras agak Oim bisa melanjutkan sekolah sampai ke jenjang yang tinggi.


Kasih orang tua sepanjang masa…


Ada satu kisah yang membuat saya terharu. Bapak bercerita bahwa beberapa bulan lalu Oim, ingin sekali punya handphone. Berbekal uang Rp400.000, Pak Umar hanya mampu membelikan handphone second sebagai hadiah ulang tahun anaknya. Saya tahu sekali betapa sulitnya menjadi seorang nelayan, nyawa taruhannya!


Selama tinggal bersama, saya berkesempatan untuk melaut bersama Pak Umar untuk mencari kerang, mengangkat bubu, juga menangkap ikan. Ini merupakan pengalaman pertama saya untuk melaut dengan waktu kurang lebih 8,5 jam di laut dengan kondisi saya yang tidak bisa berenang. Sekitar pukul 05.00 pagi kami berangkat melaut untuk menelusuri lautan Cilincing. Pada awalnya pak Umar mencari kerang, namun dikarenakan air sudah sangat tercampur limbah, akhirnya Pak Umar pindah tempat untuk mengangkat bubu dan mengambil ikan kerapu hasil tangkapannya. Dan sedihnya, 2 buah bubu Pak Umar hilang, kemungkinan besar adalah di ambil/di curi oleh orang lain. Perkara ini bukan pertama kali yang terjadi bagi Pak Umar. Sebelumnya ternak kerang di tengah laut punya Pak Umar juga dirusak dan tidak ada satupun hasil panen yang dapat diambil padahal biaya pembuatan ternak tersebut saja masih hutang. Panas, terik matahari yang menyengat, menyelam selama bermenit menit bukan halangan yang besar bagi Pak Umar, hanya satu demi keluarga.
*Pak Umar dengan Ikan Sambilang 
 *wefie di tengah laut

Kehidupan keluarga bapak Umar telah menamparku. Selama ini mungkin kita lupa untuk bersyukur dengan apa yang telah kita miliki saat ini. Menjadi bagian dari keluarga ini telah membuka mata hatiku dan pikiranku seluas-luasnya bahwa di atas langit masih ada langit lagi begitu juga lapisan di bawah tanah. Artinya adalah jika selama ini kita merasa sebagai seseorang yang paling menderita di dunia ini, ingatlah masih banyak orang yang lebih terpuruk lagi. Syukuri apa yang ada, karena hidup ini adalah sebuah anugerah.


Saya belajar akan prinsip hidup …


Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum. Keluarga ini berprinsip “sederhana asal bahagia”. Tidak perlu menjadi kaya raya untuk bisa bahagia, keluarga ini telah membuktikan kepadaku kehangatan dari sebuah keluarga kepada setiap orang tanpa memandang asal usulnya. Keikhlasan, mungkin itu adalah kuncinya.  Merasa selalu kurang, mungkin sampai saat ini kita belum sampai pada tahap mengerti arti kesederhanaan yang sebenarnya. Terima kasih keluarga Pak Umar telah mengajarkan kepada saya arti kesederhanaan, keikhlasan, dan kebagiaan yang sesungguhnya.
 

Pages

Blogger templates

My Tweets

Twitter icon

Loading..

My Shoutbox

. . .

<a href=http://zawa.blogsome.com>Zawa Clocks</a>

The Visitor Number

Free Counters

It's About Me

My photo
Jakarta, Indonesia
A learner who is highly passionate in mathematics education, community development and eco-volunteerism

Followers