Bersyukur, sebuah kata yang
sejatinya menjadi “jangkar” di tengah tingginya arus gelombang lautan hidup
manusia. Pasang surut yang terjadi dalam kehidupan manusia menjadikannya
sebagai makhluk tuhan yang selalu meminta lebih dengan apa yang telah
dimilikinya saat ini. Makhluk egois yang selalu melihat ke langit tanpa
memperhatikan apa yang ada di bumi. Begitulah, manusia saat ini.
Ada benarnya ungkapan bahwa
“rumput tetangga lebih hijau daripada rumput rumah sendiri”. Mungkin itu sudah
menjadi fitrah nya manusia. Keinginan manusia yang terus melihat segala sesuatu keatas
menjadikannya sebagai sosok pribadi individualis bahkan harus tersandung dahulu untuk
bisa melihat kebawah.
Live in PPAN ini sungguh telah menamparku dengan keras!
Sebagai pemuda yang haus akan
pengalaman, Pertukaran Pemuda Antarnegara (PPAN) merupakan salah satu
kesempatan emas yang sangat berharga untuk dijadikan sebagai tempat memperbaiki sekaligus meningkatkan
kapasitas diri. Berproses, ya dengan berproses kita akan bisa lebih menghargai
atas apa yang telah kita lakukan. Setelah proses seleksi yang cukup panjang,
akhirnya saya diberi kesempatan menjadi salah satu finalis PPAN DKI Jakarta
2017. Jakarta memang selalu beda! Di saat provinsi lain sudah menentukan
delegasi utamanya, proses seleksi DKI Jakarta masih berlangsung. Salah satu
tahap yang paling menantang menurut saya adalah live in (hidup bersama) selama 5 hari dengan masyarakat
prasejahtera di Cilincing Jakarta Utara.
Kepekaan terhadap permasalahan
yang terjadi menjadi fokus utama live in untuk mendorong anak-anak muda menjadi “catalyst” sekaligus “problem
solver” bagi lingkungan sekitarnya. Bagi saya, live in ini merupakan hal yang baru dan tak pernah terlupakan.
Bagaimana tidak, saya diharuskan tinggal dengan sebuah keluarga yang tidak saya
kenal sebelumnya selama 5 hari. Berbagai macam ketakutan dan kekhawatiran pun menghantui pikiran saya. Bagaimana saya makan nanti? Apa keluarga
angkat saya nanti memperdulikan saya? Apa saya sanggup hidup di tempat yang
belum pernah saya kunjungi?
Bertempat di Kalibaru, Cilincing
Jakarta Utara kegiatan live in
dilaksanakan. Sebagai gambaran, sebagian masyarakat di sana bekerja sebagai
nelayan dan pengupas kerang. Rabu, 3 Mei 2017 menjadi awal saya dipertemukan dengan
keluarga angkat saya. Keluarga Bapak Umar dan Ibu Tasmi merupakan keluarga
angkat saya selama kegiatan live in berlangsung. Pada saat itu juga saya
dijemput oleh bu Tasmi untuk diantar ke rumahnya.
Dan inilah rumah beliau.
Saya terkejut. Ternyata masih ada
rumah seperti ini di Jakarta. Tempat tinggal yang terlihat di bawah kata
“layak” untuk ditempati dimana kamar mandi hanya ditutupi oleh selembar terpal
bekas dengan tidak ada WC di dalamnya.
Pak umar merupakan seorang
nelayan yang memiliki penghasilan tidak tetap setiap harinya. Dimana uang Rp150.000
yang didapat dari hasil nelayan menurut saya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari ditambah biaya sekolah anak terakhirnya juga kelima
orang cucunya yang terkadang tinggal bersama. Sedangkan ibu Tasmi hanyalah
seorang ibu rumah tangga yang saat ini juga menderita diabetes. Mengetahui keadaan keluarga
angkatku, saya khawatir kedatangan saya hanya menjadi beban bagi keluarga Pak
Umar dan Bu Tasmi.
Tapi semua kekhawatiranku hilang
sirna!
Pancaran ketulusan dan keiklasan
keluarga ini sudah terpancar di hari pertama saya menjadi bagian dari keluarga
mereka. Tak perduli ada uang atau tidak, mereka memperlakukan saya seperti anak
kandungnya sendiri. Sarapan disediakan, begitupun dengan makan siang dan malam.
Saya yakin sekali, pada saat itu keluarga Pak Umar juga sedang berjuang untuk memenuhi biaya sekolah anak terakhirnya, Oim, yang baru saja
melewati ujian nasional tingkat SMP.
*keluarga besar Pak Umar
Dari percakapan ibu dan bapak
selama saya tinggal, beliau ini sangat menaruh harapan kepada anak laki-laki
satu-satunya dalam keluarga karena pendidikan merupakan barang mahal bagi
mereka juga beberapa masyarakat di sekitar sana. Oleh karena itu, bapak sangat
berjuang keras agak Oim bisa melanjutkan sekolah sampai ke jenjang yang tinggi.
Kasih orang tua sepanjang masa…
Ada satu kisah yang membuat saya
terharu. Bapak bercerita bahwa beberapa bulan lalu Oim, ingin sekali punya
handphone. Berbekal uang Rp400.000, Pak Umar hanya mampu membelikan handphone second sebagai hadiah ulang
tahun anaknya. Saya tahu sekali betapa sulitnya menjadi seorang nelayan, nyawa taruhannya!
Selama tinggal bersama, saya
berkesempatan untuk melaut bersama Pak Umar untuk mencari kerang, mengangkat
bubu, juga menangkap ikan. Ini merupakan pengalaman pertama saya untuk melaut
dengan waktu kurang lebih 8,5 jam di laut dengan kondisi saya yang tidak bisa
berenang. Sekitar pukul 05.00 pagi kami berangkat melaut untuk menelusuri
lautan Cilincing. Pada awalnya pak Umar mencari kerang, namun dikarenakan air
sudah sangat tercampur limbah, akhirnya Pak Umar pindah tempat untuk mengangkat
bubu dan mengambil ikan kerapu hasil tangkapannya. Dan sedihnya, 2 buah bubu
Pak Umar hilang, kemungkinan besar adalah di ambil/di curi oleh orang lain.
Perkara ini bukan pertama kali yang terjadi bagi Pak Umar. Sebelumnya ternak
kerang di tengah laut punya Pak Umar juga dirusak dan tidak ada satupun hasil
panen yang dapat diambil padahal biaya pembuatan ternak tersebut saja masih
hutang. Panas, terik matahari yang menyengat, menyelam selama bermenit menit bukan
halangan yang besar bagi Pak Umar, hanya satu demi keluarga.
*Pak Umar dengan Ikan Sambilang
*wefie di tengah laut
Kehidupan keluarga bapak Umar telah
menamparku. Selama ini mungkin kita lupa untuk bersyukur dengan apa yang telah
kita miliki saat ini. Menjadi bagian dari keluarga ini telah membuka mata
hatiku dan pikiranku seluas-luasnya bahwa di atas langit masih ada langit lagi
begitu juga lapisan di bawah tanah. Artinya adalah jika selama ini kita merasa sebagai seseorang yang paling menderita di dunia ini, ingatlah masih banyak orang yang lebih terpuruk lagi. Syukuri apa yang ada, karena hidup ini adalah sebuah anugerah.
Saya belajar akan prinsip hidup …
Satu hal yang membuat saya
terkagum-kagum. Keluarga ini berprinsip “sederhana asal bahagia”. Tidak perlu
menjadi kaya raya untuk bisa bahagia, keluarga ini telah membuktikan kepadaku
kehangatan dari sebuah keluarga kepada setiap orang tanpa memandang asal
usulnya. Keikhlasan, mungkin itu adalah kuncinya. Merasa selalu kurang, mungkin sampai saat ini
kita belum sampai pada tahap mengerti arti kesederhanaan yang sebenarnya. Terima kasih keluarga Pak Umar telah mengajarkan kepada saya arti kesederhanaan, keikhlasan, dan kebagiaan yang sesungguhnya.