Sunday, June 10, 2018

(Sepucuk Surat Untuk Atlet Indonesia) Dukung Bersama Asian Games 2018



Sudah saatnya kita kirimkan surat #dukungbersama kepada para atlet Indonesia yang akan berjuang dengan cucuran keringat dan air mata untuk mengharumkan nama bangsa Indonesia.

Sudah saatnya kita belajar dari para atlet Indonesia akan makna nasionalisme sesungguhnya. Tak perduli apa agama mereka, apa warna kulit mereka, juga suku dan budaya mereka, yang mereka inginkan hanya satu yaitu menjadikan sang garuda untuk terbang tinggi menggapai mimpinya. 

Kami sangat yakin bahwa kalian adalah putera-puteri terbaik bangsa yang mampu membawa merah putih ke kancah Internasional. Kami sangat yakin, semangat dan tekad kalian melebihi dari kami, rakyat Indonesia semua. 

Sebagai anak muda Indonesia, mendukung perhelatan Asian Games 2018 adalah sebuah keharusan. Sebab, #dukungbersama Indonesia untuk menjadi juara adalah salah satu bentuk jihad pada Negara. Yang kita butuhkan hanyalah rasa keindonesiaan, karena kita maju bersama sebagai satu bangsa, memperjuangkan satu tujuan untuk Indonesia.

Friday, February 2, 2018

My IELTS Journey


Cerita sebelumnya disini. Perhatian, siapakan cemilan untuk baca cerita ini :)


FLASHBACK

“Semoga Engkau memberikan hasil yang terbaik bagi hambaMu ini, jika memang belum saatnya, permudahlah hambaMu ini untuk ikut tes IELTS lagi, saya siap untuk belajar lagi”.

Begitulah kira-kira harapan gue setelah tau hasil IELTS pertama gue cuma dapat overall 6.0. Sedih? Iya. Galau? Iya juga. Kalau Dilan bilang yang susah itu adalah menahan rindu, gue bilang yang berat itu adalah menerima hasil IELTS di bawah ekspektasi kita.


Setelah akhirnya move on dari hasil IELTS pertama ini, akhirnya gue coba-coba buat daftar beberapa beasiswa S2 yang masih memungkinkan untuk dicoba dengan IELTS 6.0. Tepatnya tahun 2017, gue mulai coba mencari beberapa informasi beasiswa yang bisa menerima IELTS 6.0. Pada akhirnya gue mencoba 3 beasiswa yaitu AAS ke Australia, Fulbright ke US, dan KGSP ke Korea Selatan. Untuk Fulbright gue modal nekat karena sebenernya IELTS gue di bawah standar requirement. Mau tau hasilnya? Yap, benar sekali gue gagal tahap administrasi untuk ketiga beasiswa tersebut.
Tapi, ternyata Allah memberikan jalan lain untuk gue. Bersyukur rasanya mendapat kesempatan ke Korea Selatan dalam program Pertukaran Pemuda AntarNegara (PPAN 2017) yang diselenggarakan oleh Kemenpora tiap tahunnya. Di kesempatan ini, gue terpilih setelah melewati proses seleksi yang sangat panjang untuk mewakili provinsi DKI Jakarta untuk program Indonesia-Korea Youth Exchange Program 2017. Dijamin deh buat kalian yang ikut program ini kalian akan dapat keluarga baru, mengenal lebih dalam diri kalian, networking yang luas, juga ikut belajar dan mempromosikan budaya dari kedua negara tersebut.
Impian gue untuk melanjutkan S2 dengan beasiswa pun masih menyala dan sudah melangkah sejauh ini juga. Entah kenapa sepertinya memang Allah itu seperti memberi arah buat gue. Setelah berpikir panjang untuk tidak kerja kontrak dulu, akhirnya gue putuskan untuk menjalani profesi sebagai guru private matematika. Alasannya sederhana, waktunya fleksibel jadi gue masih bisa buat alokasiin belajar IELTS. Pasca kepulangan dari program di Korea, gue menyusun ulang strategi belajar IELTS secara mandiri juga mengerjakan PPA (Post Program Activity).
Sekitar bulan November 2017 gue mulai lagi belajar IELTS secara intensif. Beberapa keraguan pun muncul. Pada awalnya gue mau ikut preparation IELTS lagi di Jakarta/Pare, Kediri lagi karena gue merasa masih banyak yang harus diperbaiki untuk seluruh skill IELTS gue. Setelah mendapat masukan dari beberapa teman, akhirnya gue putuskan untuk belajar sendiri dan menjadwalkan bulan Januari 2018 untuk tes IELTS gue yang kedua. Lumayan juga kan uangnya bisa buat bayar test IELTS.
Setelah mengalami banyak pasang surut semangat, gue akhirnya bisa fokus belajar IELTS di rumah sekitar pertengahan bulan Desember 2017 karena anak yang gue ajar sedang libur sekolah selama 1 bulan. Di bulan ini pun gue mengorbankan untuk tidak pergi liburan karena budgetnya gue pakai untuk bayar test IELTS (2,9 juta coyyy,, mahal banget!). Setiap harinya gue bertapa dikamar buat simulasi dari pagi – sore kadang sampe malem.
Di mulai dari listening, reading, writing dan speaking. Untuk listening, selain simulasi gue biasanya dengerin podcastsnya British Council dan Learning English apps semuanya bisa di download via play store. Untuk reading gue biasanya cuma simulasi soalnya sih terus setelah selesai gue selalu tulis kata-kata yang gue gak tau di satu buku, setelah itu cari artinya. Gak usah dihapal, cukup luangin waktu buat baca itu 15 menit sampai dengan 30 menit secara konsisten setiap hari . Berbeda dengan writing, gue cuma mengandalkan apps nya IELTS Liz sama IELTS Writing Apps di play store. Dan speaking ini menjadi tantangan terberat gue. Walau gak ada partner buat berlatih speaking IELTS, beruntungnya gue mengajar privat yang mana kemampuan speaking murid gue jauh melebihi kemampuan gue. Jujur, gue banyak belajar dari dia, terutama masalah pronunciation karena setiap gue mispronunciation pasti dia bakal kasih tau gue. Disini gue belajar, jadi guru itu gak cuma mendidik dan mengajar, tapi juga terdidik dan belajar, asik kan? Untuk aplikasi, gue sangat merekomendasikan kalian buat download Asistant IELTS Speaking dari android karena soal-soalnya kekinian.  
Assistant IELTS Speaking, Learning English and Podcasts BC ( Apps Berfaedah)

IELTS Writing and IELTS Liz (Apps Berfaedah)

Setelah merasa yakin untuk retake IELTS, gue putuskan untuk mengambil test tanggal 20 Januari 2018, mundur 1 minggu dari rencana awal gue. Berbekal browsing pengalaman orang test IELTS, fasilitas audio adalah salah satu hal yang sangat gue perhatikan. Maklum gue gak mau permasalahan audio hadir lagi di test IELTS gue. Dan akhirnya plihan gue jatuh di British Council Jakarta (BC). Ada beberapa alasan kenapa gue ambil di BC. Pertama, lokasinya di hotel yang pasti punya audio yang bagus. Kedua, venue hotel nya ada yang di Jakarta Pusat tepatnya di Hotel Millenium Kebon Sirih, gak terlalu jauh dari rumah gue di Jakarta Barat. Dengan berat hati, pada tanggal 5 Januari 2018, 2.9 juta gue bayar buat test ini.
H-5 sebelum test gue udah berhenti buat belajar IELTS. Hal ini juga karena temen Korea gue mau datang ke Jakarta dan stay selama 2 hari. Akhirnya, gue pun ngajak temen gue ini buat jalan-jalan ke Monas, Kota Tua dan icip-icip kuliner juga. Gue pun merasa sudah engga ada beban buat test IELTS. Tapi, permasalahan lainnya pun muncul.
Tau gak, H-2 test mata kanan gue bengkak, berair, nyeri, dan kaya orang bintitan atau jerawat di mata gitu. Ini kayanya gue iritasi debu deh soalnya abis ngenterin temen korea gue ke airport ada debu masuk ke mata gue gitu. Rasanya gue pengen cancel test IELTS gue, tapi gak bisa. Mata kanan gue memang sangat sensitif banget karena udah beberapa kali juga sakit mata.
Hari tes pun tiba …
Satu hal yang melintas di pikiran dan hati, gue ikhlas apapun hasilnya nanti. Dengan kondisi mata bengkak, merah, berair dan nyeri gue menghadapi test IELTS sekitar kurang lebih 3 jam. Rasanya? Gak usah dibayangin, mau nangis rasanya. Lagi-lagi Allah sepertinya memudahkan gue dalam semua tes tulis. Entah kenapa gue bisa fokus mengerjakan soal listening dan readingnya dengan kondisi sakit seperti itu. Begitupun dengan writing, gak ada beban sama sekali. Bahkan di reading dan writing gue masih punya waktu 5 menit buat cek kembali jawaban. Sekitar jam 12.30 tes tulis pun selesai. Merasa sedikit plong rasanya. Setelah selesai sholat Zuhur gue kembali ke venue untuk tes speaking karena dapat tes jam 13.50. Di test speaking gue sangat merasa down karena gue dapet examiner yang aksen Britishnya kental banget plus ekspresi yang datar. Dan ada satu pertanyaan dimana gue salah tangkap untuk menjawab, tapi dengan baik hati, examinernya langsung meluruskan pertanyaannya. Selesai sudah seluruh rangkaian tes IELTS dan gue masih khawatir dengan nilai speaking gue di bawah 6.
Setelah 13 hari berselang, tepatnya hari ini gue dapat email dari BC kalau Test Report gue sedang dalam pengiriman via kurir dan hasil IELTS bisa di akses di web BC secara online (hari ini udah sampai aja hasilnya di rumah, cepet banget). Hasilnya, Alhamdulillah perjuangan selama 1.5 tahun buat IELTS bisa juga dpt overall 6.5 dengan tidak ada skor di bawah 6. Ini bukan skor yang tinggi, tapi setidaknya cukup untuk mendaftar beasiswa juga kampus. Rasanya sangat tidak mungkin untuk mendapat skor segitu, lagi-lagi Allah maha baik.
Hasil IELTS kedua


Panjang sekali jalan cerita IELTS ini. Yakin deh, Allah itu gak akan membebani umatnya diluar batas kemampuan dirinya. Jadi solusinya, ya terus memantaskan diri dan selalu berhusnuzon kepada sang maha pencipta. Semoga ini bisa jadi awalan yang baik untuk tetap memperbaiki diri.
“Kalau kamu menginginkan mutiara di dasar laut, ya kamu juga harus berani untuk menyelam ke dasar laut”

Setiap orang yang saat ini berhasil, dulunya juga pernah gagal kok. Yang dibutuhkan hanya konsistensi dan kesabaran atas apa yang kita lakukan”

Satu nasihat dari Imam Syafi’I yang sangat gue suka:
“Pergilah kau kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang”
Beberapa tips ala gue sebelum test IELTS:

  • Banyakin piknik keluar atau sekedar jalan-jalan biar di hari H test gak terlalu tegang
  • Jaga kesehatan badan. Kalaupun sakit, motivasi diri untuk tahan sakitnya untuk beberapa jam ketika tes
  • Batasi sumber belajar IELTS, karena kalau terlalu banyak akan buat bingung sendiri
  • Download aplikasi-aplikasi berfaedah di smartphone mu setidaknya ketika kamu punya waktu luang di jalan bisa tetap review sekaligus belajar
  • Buat strategi dan atur waktu belajar
  • Pilih tempat test yang kira-kira punya fasilitas mendukung
  • Dikala sedang bosen, mumet, galau, down sering-sering baca blog orang deh tentang perjuangannya dapatin skor IELTS. Dari situ kita banyak belajar dan semakin belajar kalau kita tidak sendiri. Banyak lho yang sampai test IELTS sampai 3-5x
  • Berusaha ikhlas setelah maksimal belajar
  • Doa dan minta restu orang tua


Monday, November 27, 2017

Surat Untuk Anak Sang Garuda

*dokumentasi pribadi



Teruntuk Anak Sang Garuda …

Setelah sekian lama, pada akhirnya sang garuda pun melahirkan anak. Lahir dan hidup di sebuah negara yang menjadi paru-paru dunia karena luas hutannya, anak sang garuda pun terus berkembang dan tumbuh. Sungguh sangat menakjubkan sekali negara tempat sang anak hidup. Sebuah negara maritim dimana luas wilayah perairannya lebih luas dibandingkan dengan luas daratannya. Sebuah negara yang dijuluki sebagai negara nyiur karena memiliki garis pantai terpanjang di dunia sehingga akan banyak ditumbuhi oleh pohon kelapa. Sebuah negara agraris yang memiliki wilayah pertanian yang sangat luas. Heaven on Earth atau surga dunia karena kekayaan alamnya yang subur dan hasil buminya yang melimpah ruah serta hamparan indahnya alam yang begitu menggoda mata. Negara megabiodiversitas yang kaya akan keanekaragaman flora dan fauna nya yang unik dan langka. Anak sang garuda pun optimis bahwa negara ini akan terus maju karena ia melihat banyak sekali potensi yang dapat dikembangkan. Tahukah kalian, di negara mana anak sang garuda tinggal? Negara itu bernama Indonesia, sebuah negara yang pernah menjadi Macan Asia pada masanya. Apakah kalian melihat potensi yang sama dengan anak sang garuda tersebut?

Namun, anak garuda tersebut pun sedih ketika banyak sekali anak-anak garuda lainnya tidak melihat hal-hal baik dari negaranya. Selama ini mereka terlalu sibuk pada citra buruk dari bangsanya sendiri. Selama ini, mereka masih saja berdebat atas perbedaan-perbedaan yang terjadi. Selama ini mungkin mereka hanya beranggapan tidak ada hal baik dari negaranya, Indonesia, karena setiap harinya mereka disuguhi dengan berita-berita negatif lainnya. Sebagian dari mereka ternyata masih belum bisa melihat potensi negaranya, dari arah yang berbeda.

Andai aku menjadi sang anak garuda tersebut, seharusnya aku bangga dengan apa yang dimiliki oleh negaraku. Aku yakin negaraku akan menjadi negara yang damai meskipun banyak sekali perbedaan-perbedaan yang terjadi. Aku pun yakin, bahwa seluruh penghuni di negara Indonesia mampu bekerja sama dan bergotong royong untuk terus membela negara. Dan aku pun yakin, ketika semua anak sang garuda mampu melihat potensi negaranya, rasa bangga dan optimis akan menjadi senjata utama untuk memajukan bangsanya.

Tahun depan merupakan tahun yang dirasa sangat spesial bagi anak sang garuda karena di tahun tersebut,  negaranya, Indonesia, dipercaya untuk menjadi tuan rumah Asian Games 2018 untuk yang kedua kalinya dimana kegiatan ini adalah sebuah perhelatan olahraga di Asia yang akan mempertandingkan 42 cabang olahraga yang diadakan setiap 4 tahun sekali. Sepanjang sejarah Asian Games, nyatanya Indonesia belum pernah menjadi juara umum dari pesta olahraga ini. Tidak pernah, bukan berarti tidak mungkin. Gagal pun tidak selamanya berarti putus asa dan kalah. Inilah saat yang tepat sang anak garuda mengepakkan sayap lebarnya. Inilah saat yang tepat bagi sang Macan Asia untuk bangun dari tidurnya. Tunjukkanlah bahwa Indonesia adalah bangsa yang kuat, bersahabat dan damai. Ini bukanlah perihal menang atau kalah, ini adalah bentuk komitemen dukungan penuh untuk para anak sang garuda yang akan berjuang di bawah bendera merah putih dalam Asian Games ke 18. Terbanglah tinggi wahai anak-anak sang garuda.

*dokumentasi pribadi
sumber: http://agolf.xyz/tiga-sponsor-utama-asian-games-2018-perkuat-kerjasama-dengan-inasgoc/


Pesan singkatku untuk anak sang garuda, kobarkan semangatmu. Maju terus olahraga Indonesia. Indonesia, bisa!

Wednesday, May 10, 2017

Mendayung Pelajaran Hidup di Kampung Nelayan Jakarta Utara (Live in PPAN DKI Jakarta 2017)



Bersyukur, sebuah kata yang sejatinya menjadi “jangkar” di tengah tingginya arus gelombang lautan hidup manusia. Pasang surut yang terjadi dalam kehidupan manusia menjadikannya sebagai makhluk tuhan yang selalu meminta lebih dengan apa yang telah dimilikinya saat ini. Makhluk egois yang selalu melihat ke langit tanpa memperhatikan apa yang ada di bumi. Begitulah, manusia saat ini.
Ada benarnya ungkapan bahwa “rumput tetangga lebih hijau daripada rumput rumah sendiri”. Mungkin itu sudah menjadi fitrah nya manusia. Keinginan manusia yang terus melihat segala sesuatu keatas menjadikannya sebagai sosok pribadi individualis bahkan harus tersandung dahulu untuk bisa melihat kebawah.  


Live in PPAN ini sungguh telah menamparku dengan keras!


Sebagai pemuda yang haus akan pengalaman, Pertukaran Pemuda Antarnegara (PPAN) merupakan salah satu kesempatan emas yang sangat berharga untuk dijadikan sebagai tempat memperbaiki sekaligus meningkatkan kapasitas diri. Berproses, ya dengan berproses kita akan bisa lebih menghargai atas apa yang telah kita lakukan. Setelah proses seleksi yang cukup panjang, akhirnya saya diberi kesempatan menjadi salah satu finalis PPAN DKI Jakarta 2017. Jakarta memang selalu beda! Di saat provinsi lain sudah menentukan delegasi utamanya, proses seleksi DKI Jakarta masih berlangsung. Salah satu tahap yang paling menantang menurut saya adalah live in (hidup bersama) selama 5 hari dengan masyarakat prasejahtera di Cilincing Jakarta Utara.


Kepekaan terhadap permasalahan yang terjadi menjadi fokus utama live in untuk mendorong anak-anak muda menjadi “catalyst” sekaligus “problem solver” bagi lingkungan sekitarnya. Bagi saya, live in ini merupakan hal yang baru dan tak pernah terlupakan. Bagaimana tidak, saya diharuskan tinggal dengan sebuah keluarga yang tidak saya kenal sebelumnya selama 5 hari. Berbagai macam ketakutan dan kekhawatiran pun menghantui pikiran saya. Bagaimana saya makan nanti? Apa keluarga angkat saya nanti memperdulikan saya? Apa saya sanggup hidup di tempat yang belum pernah saya kunjungi?


Bertempat di Kalibaru, Cilincing Jakarta Utara kegiatan live in dilaksanakan. Sebagai gambaran, sebagian masyarakat di sana bekerja sebagai nelayan dan pengupas kerang. Rabu, 3 Mei 2017 menjadi awal saya dipertemukan dengan keluarga angkat saya. Keluarga Bapak Umar dan Ibu Tasmi merupakan keluarga angkat saya selama kegiatan live in berlangsung. Pada saat itu juga saya dijemput oleh bu Tasmi untuk diantar ke rumahnya.


Dan inilah rumah beliau.




Saya terkejut. Ternyata masih ada rumah seperti ini di Jakarta. Tempat tinggal yang terlihat di bawah kata “layak” untuk ditempati dimana kamar mandi hanya ditutupi oleh selembar terpal bekas dengan tidak ada WC di dalamnya.


Pak umar merupakan seorang nelayan yang memiliki penghasilan tidak tetap setiap harinya. Dimana uang Rp150.000 yang didapat dari hasil nelayan menurut saya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ditambah biaya sekolah anak terakhirnya juga kelima orang cucunya yang terkadang tinggal bersama. Sedangkan ibu Tasmi hanyalah seorang ibu rumah tangga yang saat ini juga menderita diabetes. Mengetahui keadaan keluarga angkatku, saya khawatir kedatangan saya hanya menjadi beban bagi keluarga Pak Umar dan Bu Tasmi.

Tapi semua kekhawatiranku hilang sirna!


Pancaran ketulusan dan keiklasan keluarga ini sudah terpancar di hari pertama saya menjadi bagian dari keluarga mereka. Tak perduli ada uang atau tidak, mereka memperlakukan saya seperti anak kandungnya sendiri. Sarapan disediakan, begitupun dengan makan siang dan malam. Saya yakin sekali, pada saat itu keluarga Pak Umar juga sedang berjuang untuk memenuhi biaya sekolah anak terakhirnya, Oim, yang baru saja melewati ujian nasional tingkat SMP.

*keluarga besar Pak Umar


Dari percakapan ibu dan bapak selama saya tinggal, beliau ini sangat menaruh harapan kepada anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga karena pendidikan merupakan barang mahal bagi mereka juga beberapa masyarakat di sekitar sana. Oleh karena itu, bapak sangat berjuang keras agak Oim bisa melanjutkan sekolah sampai ke jenjang yang tinggi.


Kasih orang tua sepanjang masa…


Ada satu kisah yang membuat saya terharu. Bapak bercerita bahwa beberapa bulan lalu Oim, ingin sekali punya handphone. Berbekal uang Rp400.000, Pak Umar hanya mampu membelikan handphone second sebagai hadiah ulang tahun anaknya. Saya tahu sekali betapa sulitnya menjadi seorang nelayan, nyawa taruhannya!


Selama tinggal bersama, saya berkesempatan untuk melaut bersama Pak Umar untuk mencari kerang, mengangkat bubu, juga menangkap ikan. Ini merupakan pengalaman pertama saya untuk melaut dengan waktu kurang lebih 8,5 jam di laut dengan kondisi saya yang tidak bisa berenang. Sekitar pukul 05.00 pagi kami berangkat melaut untuk menelusuri lautan Cilincing. Pada awalnya pak Umar mencari kerang, namun dikarenakan air sudah sangat tercampur limbah, akhirnya Pak Umar pindah tempat untuk mengangkat bubu dan mengambil ikan kerapu hasil tangkapannya. Dan sedihnya, 2 buah bubu Pak Umar hilang, kemungkinan besar adalah di ambil/di curi oleh orang lain. Perkara ini bukan pertama kali yang terjadi bagi Pak Umar. Sebelumnya ternak kerang di tengah laut punya Pak Umar juga dirusak dan tidak ada satupun hasil panen yang dapat diambil padahal biaya pembuatan ternak tersebut saja masih hutang. Panas, terik matahari yang menyengat, menyelam selama bermenit menit bukan halangan yang besar bagi Pak Umar, hanya satu demi keluarga.
*Pak Umar dengan Ikan Sambilang 
 *wefie di tengah laut

Kehidupan keluarga bapak Umar telah menamparku. Selama ini mungkin kita lupa untuk bersyukur dengan apa yang telah kita miliki saat ini. Menjadi bagian dari keluarga ini telah membuka mata hatiku dan pikiranku seluas-luasnya bahwa di atas langit masih ada langit lagi begitu juga lapisan di bawah tanah. Artinya adalah jika selama ini kita merasa sebagai seseorang yang paling menderita di dunia ini, ingatlah masih banyak orang yang lebih terpuruk lagi. Syukuri apa yang ada, karena hidup ini adalah sebuah anugerah.


Saya belajar akan prinsip hidup …


Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum. Keluarga ini berprinsip “sederhana asal bahagia”. Tidak perlu menjadi kaya raya untuk bisa bahagia, keluarga ini telah membuktikan kepadaku kehangatan dari sebuah keluarga kepada setiap orang tanpa memandang asal usulnya. Keikhlasan, mungkin itu adalah kuncinya.  Merasa selalu kurang, mungkin sampai saat ini kita belum sampai pada tahap mengerti arti kesederhanaan yang sebenarnya. Terima kasih keluarga Pak Umar telah mengajarkan kepada saya arti kesederhanaan, keikhlasan, dan kebagiaan yang sesungguhnya.
 

Pages

Blogger templates

My Tweets

Twitter icon

Loading..

My Shoutbox

. . .

<a href=http://zawa.blogsome.com>Zawa Clocks</a>

The Visitor Number

Free Counters

It's About Me

My photo
Jakarta, Indonesia
A learner who is highly passionate in mathematics education, community development and eco-volunteerism

Followers