Friday, January 20, 2012

PENDIDIKAN BAGI SI MISKIN DAN SI KAYA

Sungguh, alangkah lucunya negeri ini. Indonesia yang katanya kaya raya ternyata sebagian besar rakyatnya tak bisa menikmati kekayaan tersebut. Kekayaan negara justru dinikmati oleh segelintir orang, yakni penguasa dan pengusaha. Aset-aset negara yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, kini semakin mengempis dan dikuasai oleh asing. Air, tanah, pertambangan, hutan, perkebunan, dan aset strategis lainnya sudah milik asing. Sisanya dikuasai oleh beberapa orang yang berkewarganegaraan Indonesia. Menggelisahkan sekali, dari 1000 orang terkaya di dunia (versi majalah Forbes), terdapat 7 orang dari Indonesia. Mereka memiliki harta triliunan rupiah. Sementara separuh penduduk kita hidup dalam kemiskinan, kesulitan mendapatkan akses hidup, khususnya pendidikan.
Pendidikan bagi si Kaya dan si Miskin dunia pendidikan di Indonesia kini makin bewarna dan menghebohkan. Persoalan dan kritikan terhadap pendidikan kita muncul silih berganti. Kritikan mulai dari cara-cara pemerintah menata kembali sekolah di daerah bencana seperti di NAD dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara, ujian nasional, standar nasional. Pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui standar nasional tersebut. Sekolah yang sudah memenuhi persyaratan standar nasional dipertahankan, kalau perlu ditingkatkan lagi. Sedangkan yang belum akan dibantu pemerintah dalam berbagai bentuk seperti pengadaan guru, fasilitas belajar dan penunjang lainnya.
Tetapi apakah pemimpin sekolah, para guru, dan sekolah secara keseluruhan sudah siap? Artinya sekolah sebagai suatu sistem pun harus berada dalam satu titik atau kondisi yang sama. Kenyataannya adalah ketimpangan dan ketimpangan, ketidakseragaman dan ketidakseragaman. Bagaimana standar nasional bisa dicapai kalau di satu sekolah sendiri ada perbedaan siswa kaya dan pintar dengan siswa yang tidak mampu secara ekonomi dan kurang pintar. Walaupun Depdiknas menyebut formal mandiri dan formal standar, masyarakat tetap melihatnya sebagai pendidikan untuk si kaya dan si miskin.
Bisa dibayangkan apa yang terjadi bila kondisi sekolah seperti itu. Ketidaksenangan dan kecemburuan yang selalu menjadi momok di dalam pergaulan di lingkungan sekolah akan membuat pendidikan tidak sehat. Relasi antarsekolah menjadi lebih ruwet, dan pemerintah belum tentu mampu mengatasi pergolakan yangmungkin terjadi. Kita berharap pemerintah jangan membuat kebijakan yang memberatkan masyarakat dengan perlakuan berbeda di sekolah. Masyarakat tidak mampu jangan sekali-sekali dibebani dengan kondisi sekolah yang serba tidak mengenakkan. Jangan ada "anak emas", "anak bawang", atau "anak singkong" di sekolah-sekolah kita. Sekolah adalah tempat menuntut ilmu, bukan menanamkan benih-benih perbedaan dari segi sosial, ekonomi, agama dan budaya. Sebagai contoh, sudah beberapa kali Siti Maesaroh dipanggil oleh pihak sekolah, dibariskan di lapangan basket bersama siswa miskin lainnya, lalu diberi tahu bahwa mereka tidak bisa mengikuti ujian sekolah, karena mereka belum melunasi SPP, DSP, dan lain-lain. Setiap sesudah menerima peringatan yang menyakitkan itu, siswa kelas X sebuah SMA negeri di Cicalengka itu, pulang ke rumah sambil menangis, dan mengadukan rasa malu yang ditanggungnya kepada kedua orang tuanya ...
Kutipan berita yang diterbitkan HU Pikiran Rakyat 17 Juli 2008 itu adalah sebagian dari realitas sekaligus membuka suramnya kondisi pendidikan yang diselenggarakan di negara ini. Pendidikan yang di dalamnya terdapat transaksi ekonomi di mana ada perilaku jual beli di dalamnya, dengan prinsip harga tergantung banyaknya permintaan. Pendidikan yang tidak lagi berorientasi pada upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan yang alih-alih memanusiawikan manusia menjadi sebuah ladang bisnis di mana tindakan tidak berperikemanusiaan tumbuh subur dan berkembang.
Meminjam pendapat Rohmat Sarman, S.E., M.Si. (pendiri Radio Komunitas NH FM Karawang), pendidikan seyogyanya adalah proses memberi dan menerima yang didalamnya ada keiklasan dari si pemberi dan penerima, ikhlas untuk memberi dan ikhlas untuk menerima. "Pendidikan berwajah kapitalisme, cenderung tidak ikhlas dan rendah nilai perjuangannya! Jika seperti itu, maka transformasi nilai-nilai hakikat pendidikan menjadi tidak lancar, karena tersumbat oleh perasaan membeli dan dibeli!" ujar Rohmat yang tengah merintis lahirnya sekolah komunitas di karawang bersama komunitas radionya, seperti yang dilansir rakom.nh.web.id.
Pendidikan kini hanya menjadi ajang bisnis yang bisa di bilang menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu. Pendidikan sejatinya adalah satu-satunya harapan bagi generasi bangsa Indonesia agar dapat meraih masa depan yang lebih cerah, kini hanyalah tidak lebih dari suatu lembaga untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya selayaknya pabrik atau semisal yang lainnya. Kenyataannya pendidikan tidak lagi sebagai media pembebasan dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan, melainkan skandal-skandal pembodohan terhadap peserta didik secara tersistematis dan sangat rapi. Padahal, orientasi pendidikan itu sendiri adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi mengapa di era globalisasi ini konsep pendidikan tersebut jauh dari apa yang di harapkan, akan tetapi malah menimbulkan kesenjangan sosial yang dapat mendiskriminasi seseorang yang kurang mampu dalam hal ekonomi. Pendidikan juga menjadi barang mahal di Indonesia, karena untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan memiliki fasilitas yang memadai sangat memerlukan biaya yang cukup mahal. Mengapa hukum rimba berlaku juga di dunia pendidikan? Padahal pendidikan adalah hal mutlak bagi seseorang. Apalagi di Indonesia yang sudah menjamin warga negaranya berhak untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan yang layak. Dalam konstitusi, peraturan ataupun dasar negara sudah secara tegas dinyatakan bahwa negara menjadi penanggung jawab utama dalam proses mencerdaskan bangsa tanpa memandang predikat warga secara ekonomi. Kenyataan di mana praktik-praktik diskriminasi dalam pendidikan yang membedakan si kaya dan si miskin menjadi bukti terjadi pelanggaran yang dilakukan negara. Semua warga negara berhak mengecap pendidikan bermutu tanpa memandang status sosial-ekonominya. Hal ini sudah sangat jelas diamanatkan di dalam konstitusi kita. Sehingga pemerintah sebagai penanggungjawab pendidikan berupaya memberikan pendidikan wajib sembilan tahun kepada anak bangsa. Namun hingga hari ini, pendidikan dasar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah tak berjalan sesuai dengan harapan.
Terbukti dari data Depdiknas 2009, ada sekitar 2,2 juta anak usia wajib belajar, yakni 7-15 tahun, belum dapat menikmati pendidikan. Lebih jauh lagi untuk usia lebih tua, dimana terdapat 5,5 juta orang yang tak bersekolah untuk usia 16-18 tahun. Selanjutnya untuk usia 19-25 tahun, ada sekitar 20,7 juta orang yang tak mengenyam pendidikan tinggi (Kompas, 11/12/2009). Kalau dijumlahkan, maka sekitar 28,4 juta orang yang berusia 7-25 tahun, tidak bisa mengenyam pendidikan. Sungguh jumlah yang fantastis. Banyak faktor penyebab tingginya jumlah anak yang tak sekolah, seperti sulitnya akses pendidikan, kurangnya kesadaran orangtua, dan faktor kesulitan ekonomi. Jika dikaji lebih dalam, maka faktor kesulitan ekonomilah penyebab utamanya. Bagaimana tidak, sekitar 110 juta penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan (versi Bank Dunia). Seperti pepatah, sudah jatuh ditimpa tangga pula.
Faktanya adalah terjadinya kesenjangan sosial di dunia pendidikan. Contohnya seperti pendidikan di pelosok desa dan di perkotaan. Kita dapat melihat serta membedakan kualitas antara pendidikan di pelosok desa dan di perkotaan. Mulai dari peserta didik, pendidik, lingkungan pendidikan serta sarana dan prasarana yang ada untuk menunjang proses kegiatan belajar mengajar. Di satu sisi, potret pendidkan di pelosok desa sangat memprihatinkan. Di sisi yang lain, pendidikan di perkotaan sangat di dominasi dengan kemewahan serta fasilitas yang mencukupi. Jika ditarik pada dua kasus terdekat lainnya, praktik diskriminasi ini terjadi di antaranya, pertama pada praktik ujian negara (UN) yang menyamaratakan semua siswa dari berbagai daerah dengan tidak mempertimbangkan kualitas pendidikan yang selama ini mereka dapatkan. Perbedaan sekolah, fasilitas, pengajar, dan lainnya tidak menjadi pertimbangan.
Kedua, pada penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri. Pada saat dilangsungkannya Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) kemarin jelas terlihat bahwa SNMPTN yang merupakan bentuk baru dari SPMB bukan lagi menjadi sarana bagi siswa-siswa berkualitas mendapatkan haknya untuk duduk di bangku kuliah universitas negeri, tetapi lebih kepada ajang bagi mereka yang ingin berjudi mengadu nasib memperebutkan jatah kursi yang tersisa. Dihitung dari persentase, jatah kursi yang diperebutkan di SNMPTN tidaklah mencapai 50% dari keseluruhan kursi yang tersedia. Yang kaya silakan lewat jalur khusus, yang miskin silahkan berjudi lewat SNMPTN, itulah mungkin slogannya. Inilah wajah perguruan tinggi dengan badan hukum milik negara (BHMN) dan kemudian menjadi badan hukum pendidikan (BHP).
Seperti yang dikemukakan oleh pengamat pendidikan, Darmaningtiyas, kasta pendidikan di sekolah-sekolah itu antara lain sekolah bertaraf internasional (SBI), rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), sekolah kategori mandiri, sekolah standar nasional, sekolah reguler, dan sekolah pinggiran. SBI dan RSBI adalah kasta tertinggi, sedangkan kasta terendah adalah sekolah pinggiran.
Munculnya SBI dan RSBI didasari UU No 20/2003 Pasal 50 ayat 3: "Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan jadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional". Dengan dasar ini, banyak sekolah yang berlomba untuk menjadi RSBI dan SBI. Dari data Kementerian Pendidikan Nasional, pada 2009 program RSBI diikuti 136 sekolah dasar, 300 sekolah menengah pertama, 118 sekolah menengah kejuruan, dan 320 sekolah menengah atas (Kompas, 26/5/2010). Begitu banyak persoalan ketidakadilan yang muncul dari pendirian sekolah yang "mengaku" bertaraf internasional ini. Karena yang bisa mengecap pendidikan di sekolah ini adalah hanya mereka yang kaya: anak pejabat, pengusaha, dan tuan tanah.
Pintu gerbang SBI dan RSBI tertutup bagi siswa miskin, meskipun siswa miskin yang pintar, karena biayanya mahal. Untuk biaya masuk SMP dan SMA, seorang siswa akan dipungut jutaan rupiah. Belum termasuk uang sekolah sebesar Rp 350.000-Rp 500.000. Bahkan seperti di Gresik, biaya sumbangan pembangunan pendidikan (SPP) mencapai Rp 700.000. Padahal, sekolah ini telah mendapatkan bantuan dari APBN. Hal ini diperparah lagi dengan semakin mahalnya biaya pendidikan akibat komersialisasi pendidikan. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah pun berorientasi pasar untuk kepentingan modal. Seolah-olah pemerintah melepaskan tanggungjawabnya dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang diharapkan menuntaskan kemiskinan hanyalah mimpi belaka karena orang miskin dilarang sekolah. Dilarang sekolah berarti dilarang cerdas. Dilarang cerdas berarti tetap miskin.
Lalu bagaimana dengan nasib-nasib penerus bangsa yang ingin mewujudkan mimpi-mimpinya? Ini membutuhkan sebuah pendidikan yang tak lain adalah kunci dari besarnya bangsa ini. Bagaimana dengan masa depan bangsa ini? Maju mundurnya suatu bangsa tergantung dari pendidikan. Pendidikan merupakan tolak ukur serta menjadi dasar bagi suatu bangsa karena segala sesuatu itu ada dasarnya. Dan dasar itu adalah pendidikan. Pendidikan bukan hanya milik orang-orang kaya, tetapi pendidikan adalah milik setiap warga Negara. Sungguh ironis potret pendidikan di negeri ini. Banyak sekali permasalahan yang menjadi PR sekaligus tanggung jawab para pemimpin di Indonesia. Mengapa segala-galanya itu butuh uang, padahal uang bukanlah segala-galanya. Bagaimana nasib si miskin…? Apakah mereka tidak berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Jangan pernah berhenti bermimpi wahai mutiara negeri ku, bermimpilah maka tuhan akan memeluk mimpi-mimpi mu itu.
Oleh karena itu, sebagai orang yang berkecimpung serta peduli akan nasib pendidikan di Indonesia mari kita berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan pendidikan di negeri ini. Jika kita adalah seorang guru maka mendidiklah sepenuh hati tanpa pandang bulu orang yang kita didik. Sudah saatnya Indonesia bangun dari keterpurukan, terutama di bidang pendidikan. Katakanlah pada dunia bahwa Indonesia merupakan Negara yang patut di lihat di kacamata internasional. Maju terus pendidikan Indonesia.

0 comments:

Pages

Blogger templates

My Tweets

Twitter icon

Loading..

My Shoutbox

. . .

<a href=http://zawa.blogsome.com>Zawa Clocks</a>

The Visitor Number

Free Counters

It's About Me

My photo
Jakarta, Indonesia
A learner who is highly passionate in mathematics education, community development and eco-volunteerism

Followers