Friday, May 3, 2013

(Bukan) Simsalabim, Menyulap Krisis Multidimensional Dengan Budaya Bersepeda



Apa yang ada di dalam pikiran anda ketika mendengar kata “Belanda”? Kincir angin, keju, bunga tulip atau bendungan Den Haag? Jika berbicara mengenai negara Belanda, satu hal yang menarik perhatian saya yaitu budaya. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Salah satu budaya di Belanda tersebut adalah budaya bersepeda.



Budaya bersepeda di Belanda sudah di mulai sejak tahun 1970-an. Namun, sejarah persepedaan di Belanda  dimulai pasca perang dunia II tahun 1948-1970, di mana pendapatan perkapita rata-rata penduduk Belanda meningkat tajam. Meningkatnya pendapatan perkapita ini berdampak pada naiknya daya tarik pembelian mobil. Sayangnya, tata kota di negara Belanda tidak mendukung cepatnya laju kepadatan mobil karena jalan-jalannya yang sempit sehingga menggangu tingkat kualitas kehidupan di Belanda. Hal tersebut menyebabkan munculnya krisis multidimensional di Belanda. Dimulai dari krisis tata kota. Dengan naiknya daya tarik pembelian mobil namun tidak diimbangi dengan lahan yang memadai, menyebabkan banyak gedung-gedung yang harus dihancurkan untuk  ruang parkir dan jalan-jalan mobil. Hal ini juga akan mendorong munculnya krisis kebersihan udara serta krisis keamanan lalu lintas yang menjadikan anak-anak sebagai korban kecelakaan lalu lintas dan memicu kampanye “stop de kindermoord” (stop the child murder).  Krisis bahan bakar dan energi pun tak luput terjadi disebabkan mahalnya harga minyak sehingga bahan bakar pun terbatas dan memicu terjadinya krisis ekonomi di Belanda.
 
Adanya kampanye “stop de kindermoord” (stop the child murder) membuat para pemimpin dan pemegang kebijakan di Belanda saat itu untuk mencari solusi yang kreatif untuk menjawab krisis multidimensional tersebut. Solusi dari krisis tersebut adalah menjadikan bersepeda sebagai sebuah budaya. Mungkin, tanpa adanya krisis multidimensional tersebut, Belanda tidak akan mendapat gelar sebagai the world’s number one cycling country dengan jumlah sepeda yang melebihi jumlah penduduknya.

(Bukan) Simsalabim! Pahitnya krisis multidimensional yang muncul kini berbuah manis menjadikan kekuatan infrastruktur, kebijakan, dan budaya bersepeda sebagai sebuah kesatuan sistem yang prima, berkelajutan, dan penuh inovasi. Budaya bersepeda menjadikan Belanda sebagai negara yang aman, bersih, serta memiliki tata kota dan tingkat perekonomian yang baik. Faktanya, dibutuhkan waktu sekitar 35 tahun untuk mencapai hasil tersebut.

Tidak ada yang membedakan antara penduduk Belanda dengan penduduk negara lainnya. Hal yang membedakannya adalah orang Belanda tidak menggunakan kendaraan bermotornya setiap kali mereka berpergian. Sebanyak 27% dari total perjalanan penduduk Belanda dilakukan dengan bersepeda. Presentase ini jauh lebih tinggi dibanding negara-negara maju lain seperti Denmark (18%), Jerman (12%), dan Amerika Serikat (1%). Inilah mindset yang harus dibangun oleh seluruh pemimpin, pemegang kebijakan serta penduduk di seluruh dunia bahwa dengan sebuah budaya kita dapat menyulap sebuah krisis multidimensional menjadi sebuah solusi yang berkelanjutan.

Tak ada kata telat untuk menjadikan bersepeda sebagai sebuah budaya, seperti yang dapat kita pelajari dari Belanda. Yuk, kita jadikan bersepeda sebagai budaya di Indonesia!

Referensi:                                         

0 comments:

Pages

Blogger templates

My Tweets

Twitter icon

Loading..

My Shoutbox

. . .

<a href=http://zawa.blogsome.com>Zawa Clocks</a>

The Visitor Number

Free Counters

It's About Me

My photo
Jakarta, Indonesia
A learner who is highly passionate in mathematics education, community development and eco-volunteerism

Followers